Kekerasan Simbolik dalam Teori Sosiologi Kultural: Tafsiran dan Implikasinya
Kekerasan simbolik adalah salah satu konsep yang penting dalam teori sosiologi kultural, terutama dalam konteks teori praktik sosial. Konsep ini dikemukakan oleh Pierre Bourdieu dan telah menjadi fokus perdebatan dan analisis dalam studi sosiologi modern. Kekerasan simbolik, dalam pandangan Bourdieu, terjadi dalam proses sosialisasi atau penanaman nilai-nilai ideologis dalam kehidupan sehari-hari (Bourdieu & Wacquant, 1992: 140; Lubis, 2016: 124).
Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kekerasan simbolik? Kekerasan simbolik sering disebut sebagai "kekerasan lembut" karena tidak tampak dalam bentuk kekerasan fisik yang nyata. Ia juga tidak diakui sebagai bentuk kekerasan oleh individu yang menjadi sasarannya. Sebaliknya, kekerasan simbolik didasarkan pada rasa percaya diri, loyalitas personal, kesediaan untuk menerima, pemberian, utang budi, pengakuan kesalehan, dan sebagainya. Ini diterima sebagai penghormatan etis (Bourdieu & Wacquant, 1992: 141; Lubis, 2016: 125).
Kekerasan simbolik dapat ditanamkan melalui berbagai institusi dan bergantung pada otoritas. Ini dapat berupa bentuk-bentuk kekerasan seperti kekerasan bahasa (language violence), kekerasan citra (image violence), atau kekerasan makna. Kekerasan simbolik adalah bentuk dominasi yang tersembunyi, tidak tampak, dan seringkali diterima tanpa pertimbangan. Ini bukanlah bentuk dominasi yang diterapkan secara eksplisit melalui komunikasi, tetapi melalui komunikasi yang tidak diakui sebagai yang sah (Mahbub, 2016: 5; Lubis, 2016: 124).
Contoh praktik kekerasan simbolik dalam kehidupan sosial adalah ketika para pedagang kecil terpaksa beralih ke sistem penjualan online ketika kapasitas pasar fisik dibatasi untuk mengatasi penyebaran COVID-19. Meskipun kebijakan ini lebih bersifat kapitalis, konsumen yang tidak memiliki alternatif pilihan terpaksa menerima kondisi tersebut. Ini adalah contoh konkret bagaimana kekerasan simbolik dapat mengendalikan individu dalam masyarakat.
Kekerasan simbolik sering kali terjadi dalam proses sosialisasi, pembudayaan, atau penanaman nilai-nilai ideologi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang menjadi sasaran kekerasan simbolik seringkali tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban kekerasan karena mereka menerimanya atas dasar rasa percaya, loyalitas personal, dan kesediaan untuk menerima. Beberapa alasan yang mungkin melibatkan perasaan berhutang budi, harapan akan pemberian, atau pengakuan atas kesalehan pelaku kekerasan simbolik (Bourdieu & Wacquant, 1992: 141; Lubis, 2016: 125).
Bourdieu juga menganggap bahwa kekerasan simbolik merupakan bentuk pemaksaan kesewenang-wenangan budaya di mana kekerasan semacam itu tersirat dalam hierarki bahasa dan cara penggunaan bahasa. Dia menekankan bahwa dimensi simbolis dari hubungan kekuasaan adalah penting baik dalam masyarakat prakapitalis yang tidak terdiferensiasi maupun dalam masyarakat postindustrial yang sangat berbeda. Dia percaya bahwa dalam masyarakat maju, model dominasi utama telah beralih dari paksaan terbuka dan ancaman kekerasan fisik ke bentuk manipulasi simbolik. Dalam konteks ini, proses budaya, produsen, dan institusi memainkan peran penting dalam mempertahankan ketidaksetaraan dalam masyarakat kontemporer, yang melibatkan kekuatan simbolis dan ekonomi (Swartz, 1997: 124; Lubis, 2016: 125).
Sistem simbolik, dalam pandangan Bourdieu, memiliki tiga fungsi yang saling terkait namun berbeda: kognisi, komunikasi, dan diferensiasi sosial. Pertama, sistem simbolik berfungsi sebagai sarana kognisi atau alat untuk memahami dunia sosial melalui mode-mode pengetahuan seperti bahasa, mitos, seni, agama, dan sains. Mode-mode ini menjalankan fungsi kognitif dengan membantu individu memahami dan merespons dunia di sekitar mereka (Bourdieu & Wacquant, 1992: 140; Grenfell, 2008: 72).
Kedua, sistem simbolik adalah alat komunikasi yang efektif dalam menyampaikan pesan dan makna. Ini melibatkan penggunaan bahasa, lambang, dan representasi simbolis lainnya untuk berkomunikasi dengan individu atau kelompok lain. Dalam hal ini, sistem simbolik memfasilitasi interaksi sosial dan pertukaran ide (Bourdieu & Wacquant, 1992: 140).
Ketiga, sistem simbolik adalah instrumen diferensiasi sosial. Ini berarti sistem simbolik memainkan peran penting dalam membentuk perbedaan sosial dan hierarki. Ini menciptakan legitimasi bagi perbedaan-perbedaan tersebut dengan mendorong kelompok yang terdominasi untuk menerima hierarki sosial yang ada. Dengan kata lain, sistem simbolik memainkan peran penting dalam menjaga ketidaksetaraan sosial dan ekonomi (Bourdieu & Wacquant, 1992: 140).
Pentingnya sistem simbolik dalam menjalankan fungsi-fungsi ini tidak dapat diabaikan. Ini adalah "struktur penataan" yang memungkinkan individu untuk merancang dan memahami dunia sosial mereka. Sistem simbolik adalah kode yang menyampaikan makna struktural yang mendalam kepada semua anggota budaya, dan oleh karena itu, sistem konseptual tersebut berfungsi sebagai alat komunikasi, alat pengetahuan, dan bahkan sebagai alat integrasi sosial (Bourdieu & Wacquant, 1992: 140; Grenfell, 2008: 72).
Selain itu, sistem simbolik juga memenuhi fungsi politis. Sistem simbolik yang dominan menyediakan integrasi untuk kelompok dominan, mendukung perbedaan dan hierarki antar kelompok, dan melegitimasi perbedaan sosial yang ada. Dengan kata lain, sistem simbolik memainkan peran penting dalam mempertahankan status quo dan kekuasaan yang ada dalam masyarakat (Bourdieu & Wacquant, 1992: 142; Swartz, 1997: 125).
Dengan demikian, kekuatan simbolik bukan hanya menciptakan makna, tetapi juga merupakan alat yang kuat dalam menjaga struktur sosial dan ekonomi yang ada. Setiap entitas yang memiliki kekuatan untuk mempraktikkan kekerasan simbolik atau yang berhasil memaksakan maknanya sebagai sesuatu yang tidak disengaja dengan cara menyembunyikan hubungan kekuasaan yang mendasarinya dapat memperkuat kekuatan simbolisnya sendiri dalam hubungan kekuasaan tersebut (Bourdieu & Wacquant, 1992: 142; Swartz, 1997: 125).
Untuk lebih memahami konsep ini, mari kita pertimbangkan implikasi kekerasan simbolik dalam masyarakat kontemporer. Salah satu contoh yang relevan adalah bagaimana kebijakan ekonomi dan sosial dapat menghasilkan bentuk kekerasan simbolik. Misalnya, dalam kasus pedagang kecil yang terpaksa beralih ke sistem penjualan online sebagai respons terhadap pembatasan fisik akibat COVID-19, ada elemen kekerasan simbolik yang terlibat.
Meskipun kebijakan tersebut mungkin lebih dipandang sebagai langkah kapitalis untuk melindungi pasar fisik, konsumen yang terbatas dalam pilihan mereka merasa terjebak dalam situasi ini. Mereka menerima kondisi ini atas dasar rasa percaya diri, loyalitas terhadap kebijakan pemerintah, dan harapan akan kompensasi yang mungkin akan mereka terima. Inilah contoh nyata bagaimana kekerasan simbolik dapat digunakan untuk mengendalikan individu dan mempertahankan struktur sosial yang ada (Bourdieu & Wacquant, 1992: 141; Lubis, 2016: 125).
Selain itu, praktik kekerasan simbolik dapat ditemui dalam berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk dalam proses sosialisasi, pembudayaan, atau penanaman nilai-nilai ideologi tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya menyadari peran sistem simbolik dalam membentuk pemahaman kita tentang dunia, dalam komunikasi antarindividu, dan dalam menjaga struktur sosial dan ekonomi yang ada.
Dalam masyarakat maju, model dominasi telah bergeser dari ancaman kekerasan fisik menjadi manipulasi simbolik. Proses budaya, produsen, dan institusi memainkan peran penting dalam mempertahankan ketidaksetaraan dalam masyarakat kontemporer. Ini menekankan pentingnya melihat sistem simbolik sebagai alat yang kuat dalam menjaga status quo dan kekuasaan yang ada (Swartz, 1997: 124; Lubis, 2016: 125).
Untuk merangkum, kekerasan simbolik adalah salah satu konsep yang penting dalam teori sosiologi kultural. Ini merujuk pada bentuk-bentuk dominasi yang tersembunyi, tidak tampak, dan seringkali diterima tanpa pertimbangan oleh individu yang menjadi sasarannya.
Sistem simbolik memainkan peran penting dalam menjalankan fungsi kognisi, komunikasi, dan diferensiasi sosial dalam masyarakat. Namun, kita juga harus menyadari bahwa sistem simbolik dapat digunakan sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan yang ada dalam masyarakat kontemporer.
Dengan memahami konsep kekerasan simbolik, kita dapat lebih kritis terhadap peran sistem simbolik dalam kehidupan kita dan bagaimana ia dapat memengaruhi tindakan dan persepsi kita dalam masyarakat yang semakin kompleks ini.